Teringat
masa kecilku, sembilan belas tahun yang lalu pada waktu aku berumur empat tahun
, aku selalu ditemani almarhum kakek dan hampir setiap malam sebelum aku tidur
kakek selalu mendongengi aku untuk mnegantarkanku bertemu dengan mimpi-mimpi
malam.
Dongeng
yang paling aku senangi dari puluhan dongeng kakeku adalah tentang dua ekor
binatang sebut saja tegodek-godek dan tetuntel-tuntel. tegodek-godek adalah
seokor monyet, sedangkan tetuntel-tuntel adalah seekor katak.
Waktu
itu, aku masih ingat persis pada malam jumat selesai solat isa, kakek
memnyuruhku untuk cepat-cepat mengambil selimut dan menghampirinya ditempat
tidur , ternyata kakek sudah menungguku untuk berdongeng.
“cucuku,,,
hujan kok tak berhenti ya dari tadi siang”, tiba-tiba kakek berkata begitu.
Seperti malam-malam yang telah berlalu kakek selalu bertanya tentang
cita-citaku nanti, kalau sudah besar dan jawabanku tetatap saja sama “aku ingin
menjadi haji kek” itu jawabanku yang tak pernah aku lupakan dan tiba-tiba
kakeku memulai ceritanya.
“cucuku,,,pada
zaman dahulu hidup dua ekor binatang tegodek-godek dan tetuntel-tuntel keduanya
berteman akrab dan keduanya hidup dihutan pinggir sungai. Pada sore hari
selesai hujan si tegodek-godek ceritanya mengajak tetuntel-tuntel untuk
menunggu pisang yang hanyut terbawa arus sungai yang deras dari hutan. Keduanya
pun jalan menuju kearah sungai, sambil bertanya tetuntel-tuntel kepada
tegodek-godek “tegodek-godek,,,kira-kira ada tidak ya sekarang makanan yang di
kirimkan tuhan untuk kita, aku sudah lapar sekali dari tadi pagi aku belum
makan,? Tegodek-godek pun menjawab sambil meyakinkan tetuntel-tuntel “pasti
ada, karena dari tadi pagi hujan besar sekali”.
Belum
sampai di sungai, kira-kira dua puluh meter lagi tiba-tiba tetuntel-tuntel
melihat dari jauh ada sebatang pohon pisang yang hanyut dan terhalang bebatuan,
lalu tetuntel-tuntel pun dengan nada keras dan penuh semangat berkata,
“tegodek-godek coba kamu liat itu di pinggir kali dekat batu yang besar,
sepertinya ada pohon pisang yang hanyut”, “ow ya ayok cepat kita angkat dia”.
Tegodek-godek dan tetuntel-tuntel pun berlari kearah sungai dan setibanya
disana, tegodek-godek dan tetuntel-tuntel pun mengangkat pohon pisang tersebut.
Dengan nada sedikit kecewa tegodek-godek berkata “waduh sayang ya pisangnya
belum matang kita tidak bisa makan langsung”, “ya ya bagaimana ini, kita bawa
pulang saja ayok untuk kita simpan dirumah bsok kalu sudah matang kita makan
sama-sama” jawab tetuntel-tuntel.
“tetuntel-tuntel,,,kita
potong dan bagi disini saja pohon pisang ini kita potong jadi dua ya, karena badanku besar waktu kita
mengangkatnya tadi tenagaku juga besar jadi, aku berhak mendapatkan buahnya
dankamu mendapatkan pohonya beserta akarnya”.
Kata
kakeku, tegodek-godek bersifat rakus dan mau menang sendiri sedangkan
tetuntel-tuntel bersifat penyabar dan menerima apa adanya semua keputusan
tegodek-godek.
Sesampainya
mereka di hutan kedunyapun menanam pohon pisang yang sudah dipotong pada tempat
yang berbeda-beda. Tegodek-godek menananmnya di depan rumah sedangkan
tetuntel-tuntel dibelakang rumuh dan tegodek-godek membuat peraturan, “sebelum
matang kita tidak boleh saling memperlihatkan pohon pisang kita masing-masing”
begiti peraturan tegodek godek. Seminggu kemudian, tetuntel-tuntel bertanya
kepada tegodek-godek, “tegodek-glodek bagaimana buah pisangmu, sudah matang
atau tidak, boleh aku minta aku lapar sekali nih”, tegodek-godek pun menjawab
“belum matang, tinggal dua hari lagi keliatannya, kalu kamu bagai mana”.
padahal buah pisang yang ditanam tegodek-godek sudah busuk, tapi karena gengsi
tegodek-godek tak mau jujur. tegodek-godek pun bertanya balik kepada
tetuntel-tuntel “kalau kamu bagaimana”?, tetuntel-tuntel menjawab “sama
pisangku juga belum berbuah tapi, pucuknnya sudah ada”.lalu mereka pun balik
ketempat tanaman masing masing. Setelah enam bulan kemudian ternyata pohon
pisang yang ditanam dan dirawat oleh tetuntel-tuntel sudah berbuah dan matang
dan buah pisang yang diambil tegodek-godek busuk tanpa bisa dimakan
Setelah
lama berusaha dan merawat pohon pisang yang ditanamnya tiba saatnya
tetuntel-tuntel akan memetik hasilnya tapi, tetuntel-tentel tidak bisa memanjat
pohon pisang tersebut untuk di ambil buahnya. Dengan cepat tetuntel-tuntel
memanggil tegodek-godek untuk meminta bantuan,”tegodek-godek buah pisangku
sudah matang tapi, aku tidakbisa memanjat pohonya untuk memetik buahnya dan aku
membutuhkan bantuanmu untuk memetik buahnya dan sebagai imbalanya aku kasih
kamu sepertiga dari buah pisangku yang sudah matang”. Dengan cepat
tegodek-godek loncat dari atas pohon sambil berkata “ow ya ya aku mau
menolongmu” lalu tegodek-godek memenjat pohon pisang yang dimiliki
tetuntel-tuntel, sesampainya di atas tegodek-godek memetik buah pisang dan
memakanya dengan lahap. sedangkan tetuntel-tuntel menunggu untuk dilemparkan
buah pisangnya. Dengan nada sendu, tetuntel-tuntel berkata “tegodek-godek,,,”lempari
aku satu buah pisangnya”,” sebentar dulu rasanya ini belum terlalu matang”
jawab tegodek-godek membohongi tetuntel-tuntel padahal, pisangnya sudah matang.
Tiga
kali sudah tetuntel-tuntel memohon untuk dilemparkan dari atas tapi, jawabanya
selalu “pisangmu belum matang” padahal tegodek-godek sudah hampir kenyang. karena
kebanyakan memakan buah pisang dan pada akhirnya akibat terlalu kenyang
tegodek-godek pun terjatuh, kepalanyapun terbentur batu dan meninggal.
Begitulah
cerita kakeku tentang tegodek-godek dan tetuntel-tuntel. Setelah sekarang aku
berumur duapuluh tiga tahun berlahan-lahan aku mengerti akan makna filosofis
cerita tersebut. Ternyata, kakeku ingin mengajarkan aku bahwa; sabar menikmati
peroses kehidupan, tetap berusaha dan jangan sekali-kali aku besar nanti
menjadi orang yang rakus dan pada waktu aku berumur duapuluh tiga tahun pula
aku memnemukan puisi yang ditulis oleh Ibnu Athaillah yang berbunyi; “Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tak
dikenal sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berubah
sempurna”.
-Irham
kampoenk-